HARI INI, 15 TAHUN REFORMASI
Perjuangan reformasi belum tuntas dan masih perlu dilanjutkan.
Kesejahteraan dan jaminan hukum bagi masyarakat merupakan isu awal
reformasi yang masih belum tuntas hingga saat ini. Sayang, aktor
reformasi banyak yang terpinggirkan.
PADANG, HALUAN — Hari ini, 21 Mei 2013 tepat 15
tahun reformasi. Agenda reformasi yang diperjuangkan belum berjalan
dengan baik, demokrasi yang terbangun cenderung tidak sehat. Meski
demikian, perjuangan reformasi harus tetap dilanjutkan.
Demikian kesimpulan wawancara Haluan dengan dua tokoh
Eksponen 98 Marzul Veri dan Sondri BS Dt Kayo serta sejarawan
Universitas Andalas Gusti Asnan secara terpisah di Padang, Senin (20/5)
kemarin.
Aktivis reformasi Marzul Veri menilai, pemilihan langsung dengan
mengambil suara terbanyak telah membuat aktor pejuang reformasi
terpinggirkan.
“Mereka terpinggirkan bukan karena kurang cerdas, tetapi kurang uang.
Akibatnya, hubungan aktor ini menjadi lebih jauh dengan si pembuat
kebijakan, sehingga perjalanan reformasi jadi tersendat-sendat,” jelas
Marzul.
Dikatakan, hal ini jauh berbeda ketika aktor yang bersangkutan
memperjuangkan lahirnya reformasi. Saat itu, mereka dekat dengan si
pembuat kebijakan sehingga bisa mencampuri kebijakan yang akan
dikeluarkan.
“Seusai reformasi, para aktivis pun kembali kuliah. Agenda reformasi
pun dilanjutkan oleh si pembuat kebijakan. Ada kalanya si pembuat
kebijakan yang kontra terhadap reformasi, membuat reformasi tidak
berjalan dengan baik,” tambah Marzul.
Namun demikian, katanya, agenda reformasi tetap harus dijalankan,
terkait kesejahteraan dan jaminan hukum bagi masyarakat. Keduanya
merupakan isu awal reformasi yang masih belum tuntas hingga saat ini.
Disamping kesetaraan gender yang masih menjadi permasalahan yang harus
segera diselesaikan.
Baginya, meskipun catatan buruk tentang beberapa kasus lebih banyak
terbuka di era ini, bukan berarti reformasi itu mundur. Terbukanya
berbagai permasalahan ini, dikarenakan sudah ada media yang siap
menampung hal tersebut.
Pendapat hampir senada juga diungkapkan Sondri BS Dt Kayo. Ia
mengatakan, sampai saat ini belum seluruhnya agenda reformasi berjalan.
Kalaupun ada yang sudah berjalan, itu pun seakan tak berjalan dengan
baik atau sesuai harapan. Seperti di bidang politik dan demokrasi.
“Politik misalnya, semua boleh berbicara dan diakomodir, tapi arahnya
tak jelas mau kemana. Seakan-akan bebas dan mengelinding begitu saja
politik nasional dan daerah. Tujuannya tak jelas dan tidak terarah
dengan baik,” kata Sondri, kemarin saat bicara tentang reformasi yang
sudah mencapai 15 tahun berjalan.
Begitu juga dengan demokrasi, yang terimplementasi dalam bentuk
otonomi daerah, dan kebebasan bersuara. Hampir setiap daerah itu yang
muncul justru elit-elit, yang tak berpihak pada kepentingan masyarakat
seutuhnya. Padahal otonomi daerah itu pada dasarnya melekatkan atau
mendekatkan sumber daya ke masyarakat setempat.
“Sebelumnya kan selalu terpusat dan kemudian diarahkan pada otonomi
daerah setelah reformasi. Yang terjadi kan tidak sesuai harapan, muncul
raja kecil, modal tetap berkuasa, rakyat lokal tak berdaya. Saya pikir
ini memang menjadi persoalan yang dapat dielakkan,” ucapnya.
Begitu juga dengan demokrasi, yang terbangun cenderung tak sehat.
Kekuatan modal juga penentu suara masyarakat dan itu terjadi secara
sistematis. “Lihat saja saat pemilu, pendidikan politik kurang berjalan
dengan baik. Seolah uang menentukan kemana suara rakyat, kepemimpinan
tak lagi menjadi jualan pada masyarakat,” katanya.
Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan melihat, 15 tahun merupakan
waktu yang singkat untuk melihat lahirnya sebuah perubahan. Terlalu
singkat jika bangsa ini menghendaki lahirnya sebuah perubahan besar,
setelah era reformasi dilahirkan. Hal ini didasari dengan keadaan yang
terjadi di Amerika Serikat, Jepang dan negara maju lainnya.
“Negara-negara ini membutuhkan waktu lebih dari 15 tahun untuk bisa
dianggap sebagai negara maju. Jadi waktu 15 tahun itu masih singkat.
Generasi sekarang saja yang menganggapnya sangat lama,” kata Gusti.
Gusti sendiri menilai, jika dikatakan tidak ada perubahan, itu
merupakan suatu perkataan yang keliru. Karena masyarakat sendiri sudah
merasakan perubahan itu, seperti perubahan dari zaman otoriter ke
demokrasi, meskipun terjadi demokrasi yang kebablasan. Selain itu juga
terjadi perubahan dari sistem sentralisasi menjadi sentralisasi.
“Dampak reformasi itu sendiri ada yang negatif dan positif. Hal itulah yang mesti disikapi dengan bijak,” jelasnya.
Terkait perkembangan reformasi yang berjalan saat ini, Gusti menilai
konsistensi para pejuang reformasi yang melahirkan era ini perlu
dipertanyakan. Karena dari beberapa pejuang, akibat perkembangan zaman
dan pengaruh dari partai politik sudah melunturkan semangat reformasi
tersebut.
“Ini tidak berlaku bagi semua aktor. Tetapi ada ditemukan para aktor
yang sudah menjauh dari apa yang diperjuangkan dahulunya. Semestinya,
dia tetap mengawal reformasi ini sampai gerakan tersebut selesai,”
jelasnya.
Perubahan ini, menurut Gusti dipengaruhi ketika aktor tersebut mulai
memasuki sebuah sistem. Baik itu sistem birokrasi, maupun berada dibawah
nauangan partai.
“Dengan kekuasaan yang diberikan, orang-orang ini pun semakin jauh
dari kata-kata reformasi. Tetapi saya yakin, akan lahir bibit-bibit atau
tunas tokoh-tokoh reformasi yang baru. Mereka yang kecewa dengan
keadaan reformasi saat ini, tentu akan lahir untuk mewujudkan reformasi
yang sebenarnya. Sekarang kita lihat banyak aktor yang menolak
ditawari untuk jadi anggota partai. Berarti masih ada orang komit
dengan reformasi itu,” ungkapnya. (cw-eni)
resource : http://harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=23575:aktor-reformasi-terpinggirkan&catid=1:haluan-padang&Itemid=70