Wednesday, April 17, 2013

Konsep Pendidikan 2013 yang Tersesat


Jika berbicara pendidikan, kita tidak dapat mengenyampingkan cita-ci­ta luhur bahwa pendidikan tidak ha­nya untuk mengubah masa depan dan menjamin kebebebasan, akan tetapi pendidikan juga sebagai sebuah jalan untuk memanusiakan manusia (huma­nisasi). Konsep humanisasi ini diaju­kan oleh Ki Hajar Dewantara selaku menteri pendidikan pertama Republik Indonesia. Ki Hajar Dewan­tara berpen­dapat bahwa di dalam men­didik ada pembelajaran yang meru­pa­kan komu­nikasi eksistensi manusiawi yang oten­tik kepada manusia untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempur­na­kan. Jadi pada hakikatnya Ki Hajar Dewantara me­wacanakan bahwa pen­di­dikan bang­s­a Indonesia adalah usaha bangsa ini untuk membawa manusia keluar dari kebodohan dengan mem­buka tabir aktual transeden dari sifat alami manusia. Selain itu, Ki Hajar bercita-cita melalui pendidikan bangsa ini mampu mewujudkan keadilan sosial melalui kesetaraan derajat dan pengha­pusan sistem feodal yang kental dengan nuansa kastanisasi. Selan­jutnya mela­lui pendidikan juga diha­rap­kan setiap peserta didik mampu melakukan penguasaan diri sebab menurut beliau ini adalah esensi dari pendidikan yang memanusiakan ma­nu­sia tersebut. Apabila peserta didik telah mampu menguasai dirinya, mereka akan mam­pu menentukan sikap dengan demikian akan tumbuh sikap mandiri dan dewa­sa di dalam diri setiap peserta didik yang pada akhirnya sangat dibutuhkan untuk membangun negara Indonesia.

Konsep Pendidikan yang Tersesat

Selanjutnya bagaimana dengan konsep pendidikan Indonesia saat ini. Sekarang mari kita cermati konsep pendidikan saat ini, konsep pendidikan kekinian yang selalu datang silih berganti tersebut berusaha menyusun sebuah konsep pendidikan yang terfo­kus kepada membentuk peserta didik yang mampu diterima oleh pasar te­naga kerja dan melupakan esensi pen­didikan Indonesia sebagaimana yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan dianggap berhasil apabila mampu membuat peserta didik mem­peroleh lapangan pekerjaan, dengan dalih ini pemerintah juga berusaha untuk melepaskan tanggung jawab negara dalam membiayai pendidikan anak bangsa. Hal ini tercermin kepada kebijakan ujian nasional (UN) yang dianggap sebagai tolok ukur utama kelayakan peserta didik untuk mena­matkan serta melanjutkan pendidikan. Angka-angka seolah-olah menjadi justifikasi kecerdasan seorang anak. Padahal nilai-nilai ujian yang bagus belum menjamin cerdas atau tidaknya seorang peserta didik, sebab kecer­dasan itu sendiri meliputi kecerdasan kognitif, kecerdasan sosial, dan kecer­dasan spiritual. Nilai ujian bagus hanya mewakili satu aspek kecerdasan saja dan bisa saja peserta didik yang mem­peroleh nilai tinggi pada kenyataannya belum kerdas dalam bersosialisasi dengan mayarakatnya serta belum mampu dewasa dalam bersikap selaku individu yang religius. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya kenakalan dan remaja, kerusakan moral akibat per­gaul­an bebas seperti konsumsi narko­tika maupun seks bebas di kalangan remaja. Contoh-contoh tersebut meru­pakan bukti jika banyak anak bangsa yang disorientasi diri dan belum mam­pu menguasai dirinya sendiri. Kesemua hal tersebut merupakan bukti nyata tidak tercapainya esensi pendidikan sebagaimana yang dicita-cita oleh Ki Hajar Dewantara. Selain itu kebijakan-kebijakan pembentukan sekolah rinti­san berstandart internasional (RSBI) yang saat ini pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan RSBI bertentangan dengan UUD 1945 bertu­kar sampul menjadi sekolah unggul kembali menghidupkan kastanisasi pendidikan. Jika kita flash back pada zaman kolonial belanda kita mengenal adanya sekolah-sekolah pemerintah belanda yang peserta didiknya terdiri dari anak-anak Eropa dan kaum bang­sa­wan pribumi dengan segala fasilitas dan kemewahannya, serta sekolah-sekolah liar seperti sekolah Muham­madiyah dan Taman Siswa yang didiri­kan oleh tokoh-tokoh bangsa dengan fasilitas seadanya. Ketimpangan akses pendidikan seperti masa penjajahan tersebut yang saat ini kembali hidup melalui rancangan pendidikan yang dirancang pemerintah. Sesungguhnya ketimpangan akses ini yang sebenarnya ditentang oleh para pendiri negara Indonesia, khususnya Ki Hajar Dewan­tara. Sebagai contoh penentangan kastanisasi pendidikan tersebut, Ki Hajar menawarkan konsep pakaian seragam sekolah. Dengan adanya seragam sekolah Ki Hajar berharap tidak ada lagi perbedaan antara si kaya dengan si miskin. Anak-anak orang kaya dan anak-anak orang miskin sama-sama berpakaian yang sama dan seragam, sehingga terhapuslah perbe­daan kelas sosial yang ada. Hal ini sesuai dengan cara Tuhan memandang manusia yang tidak pernah membeda-bedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Kemudian, pendidikan generasi penerus diletakkan sebagai salah satu tujuan dan tanggung jawab negara sebagai mana termaktub di dalam pembukaan (preambule) dan batang tubuh UUD 1945.

Pada akhirnya penulis berkeingin­an agar kita renungkan bersama-sama mau dijadikan seperti apa generasi bangsa ini jika kita tetap menyajikan konsep-konsep pendidikan yang terse­sat seperti saat ini. Apakah kita puas dengan janji-janji kehidupan yang sejahtera, akan tetapi moral krisi nilai-nilai moral dan nilai sosial serta terjajah oleh penjajah yang bertukar nama menjadi investor asing dan perusahaan multi nasional. Jika memang kita masih merasa satu bangsa dan satu filosofi Pancasila, alangkah baiknya kita tekadkan untuk mengembalikan kon­sep pendidikan kepada esensi awal sebagaimana yang dicita-citakan pen­diri negara, khususnya Ki Hajar De­wan­tara, yaitu pendidikan yang berkea­dilan sosial bagi seluruh generasi bangsa Indonesia dan menolak iming-iming muluk yang terdapat pada kon­sep kurikulum pendidikan 2013. (*)


[ Red/Administrator ]

#SourceFrom : http://padangekspres.co.id

0 komentar "Konsep Pendidikan 2013 yang Tersesat", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment

Mohon Tinggalkan Respon Dan Komentar nya Mengenai Berita Yang Telah Dibaca :)

Kualitas Halaman Ini

Followers