Monday, April 15, 2013

Ujian (kejujuran) Nasional

Hari ini Ujian Na­sional untuk SLTA akan digelar. Segala keriuhrendahan me­nyambut kedatangannya ma­sih sama dengan tahun ke­marin. Tahun ini bahkan diwarnai dengan kegagalan pelaksanaan ujian nasional yang serentak di 11 provinsi di Indonesia Tengah. Katanya, percetakan yang mencetak ujian itu bermasalah pula.
Tapi sudahlah, itu kita anggap sebuah kecelakaan. Sekarang yang terpenting ujian nasional jalan terus dengan segala kemungkinan hasilnya. 

Jalan terus artinya kurang lebih sama dengan kerepotan dan ketegangan siswa serta orang tua. Jangan-jangan UN itu kembali hanya sebagai formalitas belaka. Sementara faktanya, para siswa tidak mengerjakan soal ujian me­lain­kan mengerjakan bocoran ujian.
Bocoran ujian ibarat ken­tut, selalu saja ada yang tutup hidung karena baunya. Tiapa siapa yang bisa menangkap tangan orang terkentut? Apa­lagi berharap orang terkentut menjadi jujur, mengaku terus terang bahwa dialah yang terkentut.

Begitulah, sejak diterap­kannya sistem Ujian Nasional, isu ujian bocor, kunci soal diperjualbelikan menjadi mengemuka. Tak lagi sekedar isu, beberapa bukti kemudian mencuat. Dua tahun lalu kepala sekolah bersama sejumlah guru di Bengkulu ditangkap polisi karena keta­huan membocorkan ujian kepada murid-muridnya.

Anehnya, para eksekutif pendidikan seakan ogah untuk mengakui bahwa ada peluang ujian nasional itu untuk dibocorkan. Selain soal etika / moral yang merosot, juga sikap masyarakat yang ter­penjara dengan sebuah kata: nilai ujian. Seolah kalau Ujian Nasional gagal, kiamatlah negeri ini. Karena itu semua berusaha memburu kunci bagaimana bisa UN dilewati dengan baik. Perkara jalannya ke kiri atau ke kanan, itu soal lain.

Para kepala dinas pendi­dikan di provinsi dan kabu­paten/kota sudah berbuih mulutnya mengatakan bahwa para orang tua dan siswa yang akan menghadapi UN untuk tidak usah mempercayai adanya kabar bahwa kunci soal UN sudah beredar dan ditransaksikan secara gelap.

Untuk tahun ini, logika itu bisa saja benar. Sebab tahun ini soal ujian dibuat 20 paket per kelas. Artinya tiap siswa memiliki soal yang berbeda. Kalau tidak berbeda mate­rinya, paling tidak berbeda urusan soalnya. Ini akan membuat kemungkinan boco­ran soal menjadi makin tipis.

Apalagi proses pembuatan soalnya sendiri dari penyu­sunan soal, kompilasi sampai ke proses cetak senantiasa berada di bawah pengawalan ketat aparat kepolisian. Keti­ka soal-soal itu sudah selesai dicetak, para pencetakpun masih dikarantina. Sedangkan dokumen soal disegel lalu diangkut ke markas polisi untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah, juga di bawah pengawalan ketat.

Sampai di sini, jikapun akan ada yang bocor, sudah bisa dipersempit ruang untuk menuduh siapa yang ‘ter­kentut’. Hanya ada dua ke­mung­kinan, pertama pihak yang mencetak, yang kedua pihak yang mengawal. Namun sejauh ini pada bagian ini belum pernah terungkap ada­nya oknum yang tertangkap.

Ada kemungkinan lain yang juga patut mendapat perhatian. Ketika soal mulai dibagikan, ada peluang bebe­rapa menit untuk menyalin dengan scanner soal-soal itu, tentu saja oleh sekolah. Soal-soal hasil scanning itu lalu dikerjakan secara cepat oleh guru kemudian dibuatkan kuncinya.

Namanya juga tergesa-gesa, maka cukup 80 persen saja yang dikerjakan atau dihitung berdasarkan rumusan syarat kelulusan. Jika soal  itu dijawab dengan benar sebanyak 65 persen, paling tidak siswa sudah memiliki nilai 6,5 dan itu sudah bisa lulus. Kan yang penting lulus UN, lalu sekolah tersebut tercatat sebagai sekolah dengan angka lulusan terbe­sar. Kepala sekolah naik daun.

Tapi kemungkinan seperti ini sebenarnya juga amat tipis kemungkinannya. Ada dua hal yang membuat tipisnya pe­luang kebocoran di periode distribusi soal ini. Pertama jikapun soal itu berhasil disalin, maka guru yang mengerjakan tidak berada di sekolah. Berdasarkan aturan yang ada, semua guru bidang studi yang mata pelajarannya sedang diujinasionalkan hari itu, mesti dirumahkan.

Jika pun masih diupa­yakan menghubungi guru-guru bidang studi ke rumah ma­sing-masing, maka itu akan memakan waktu yang lama. Sementara waktu ujian terus berlalu. Paling-paling hanya mata pelajaran yang bersifat hafalan saja yang bisa diatasi dengan cara berteleponan itu. Soal-soal eksakta tentu akan memerlukan rumus, grafis dan sebagainya. Saya yakin belum ada setengah persen guru di Sumatera Barat yang sudah amat care dengan perangkat ICT sehingga bisa berkirim-kiriman data elek­tronis dalam bentuk grafis matematis.

Masih ada rambu-rambu yang membentang dalam periode ini. Di tiap sekolah dikirim pengawas independen dan pengawas lintas-sekolah. Mereka tidak saja mengawasi siswa yang ujian tetapi secara moral tentu saja mengawasi semua proses ujian termasuk tindak-tanduk guru di sekolah tempatnya mengawas itu.

Namun fakta-fakta bicara pada tahun-tahun sebelumnya kunci-kunci itu beredar. Indi­katornya; siswa yang oleh semua guru diragukan untuk bisa lulus, malah lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Tak mungkin hanya dengan main tebak, bisa menjawab semua soal yang diujikan.

Walhasil, sekarang sebe­nar­nya tinggal kita berkon­templasi saja. Sebenarnya apa yang ingin kita capai dengan ujian nasional?
Jika perihal kualitas lulu­san masih disangkutpautkan dengan proses belajar me­ngajar, maka perlu kita perta­nyakan lagi apakah sertifikasi guru yang diikuti dengan naiknya pendapatan guru itu juga berkorelasi dengan mem­baiknya sikap siswa dalam menempuh ujian? Jika selama setahun terakhir di kelas terakhir para siswa sudah mendapat pendidikan dari guru-guru yang mengaku bersertifikat (dan hebat) mestinya semangat mengejar kunci dan bocoran soal harus sudah tersisihkan.

Sesungguhnya ujian nasio­nal juga sekaligus menguji kembali seberapa jauh serti­fikasi sudah membikin siswa jadi bagus. Guru yang hebat tentu menghasilkan murid yang hebat. Tapi kalau serti­fikasi hanya diperoleh dengan cara yang ‘tidak seharusnya’, maka wajar juga muridnya menjadi murid yang ‘tidak seharusnya’
Semangat ambil jalan pintas yang subur sejak di bangku pendidikan, adalah cikal bakal semangat yang sama pada generasi berikut­nya. Di sekolah saja sudah berbohong apalagi kalau su­dah jadi pemimpin kelak.***


EKO YANCHE EDRIE
(Sekretaris PWI Sumbar)

#source From : http://harianhaluan.com

0 komentar "Ujian (kejujuran) Nasional ", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment

Mohon Tinggalkan Respon Dan Komentar nya Mengenai Berita Yang Telah Dibaca :)

Kualitas Halaman Ini

Followers